Pemerintah Jepang melalui Japan International Cooperation Agency(JICA) mengadakan program pendalaman lesson study bagi para dosen dalam Short Term Training on Lesson Study (STOLS) for Institutes of Teachers Training and Education Personel (ITTEP) tahun 2017. Kegiatan yang dilaksanakan dari 29 Oktober hingga 29 November 2017 di Jepang ini, diikuti 20 peserta dosen dari seluruh Indonesia dan dua perwakilan Kemendikbud.
Peserta dari Universitas Khairun diwakili oleh Suparman, S.Pd, M.Si. Dosen Prodi Pendidikan Biologi FKIP ini, merupakan salah satu peserta yang berhasil lolos dari rangkaian seleksi bertingkat yang diikuti ratusan pelamar. Tahun 2015 lalu, Universitas Khairun juga pernah memiliki perwakilan, yakni Nurhasanah, S.Si., M.Si sebagai peserta program yang sama
Untuk tahun 2017, dari 149 peserta yang lolos administrasi dipilih sebanyak 50 orang untuk megikuti wawancara, hingga menyisakan 20 orang. Tahap Seleksi dan wawancara berisi tentang pengetahuan dasar, tindak lanjut dan dukungan instansi terhadap program Lesson Study serta kemampuan bahasa inggris dan publikasi internasional tentang Lesson Studyoleh calon peserta.

Tujuan utama program ini ialah membekali para dosen pendamping Leson Study di masing-masing wilayah tentang fondasi Lesson Study Learning Community (LSLC), yakni bagaimana sistem belajar dengan sistem kelompok kolaboratif membentuk komunitas belajar. Program ini dibiayai oleh JICA bekerjasama dengan pemerintah Indonesia ini, peserta mendapat materi dan perkembangan Leson Study di Jepang serta melakukan praktik observasi langsung dari SD sampai SMA. Praktik dilakukan pada sekolah perkotaan yakni Tokyo dan sekitarnya juga daerah terpencil yakni perfektur (provinsi) Okinawa yang berjarak 2.100 Km dari Tokyo. Selain itu para peserta juga diperkenalkan tentang kekayaan budaya masyarakat Jepang.
Instruktur dan pemateri program STOLS terdiri dari akademisi yakni professor dan dosen senior yang ahli dalam Leson Study, praktisi, dinas pendidikan masing-masing provinsi dan kota terkait di Jepang, kepala sekolah, serta guru-guru yang terjun langsung dan berpengalaman dalam LSLC. Prof Manabu Sato yang terkenal dengan reformasi sekolah melalui LSLC juga turut menjadi pembicara dan mempraktikan langsung kepada peserta bagaimana ia mendampingi sekolah dalam LSLC.
Dalam observasi sekolah, para peserta diperlihatkan keadaan real sekolah yang ada di Jepang dengan segala kelebihan dan kekurangannya. Dari segi fasilitas, sekolah-sekolah di jepang telah terstandar hingga ke wilayah terpencil. Kekurangan guru juga terjadi di Jepang, banyaknya siswa yang terkategori miskin dan menengah ke bawah hampir ada di semua sekolah, sehingga anggaran pendidikan di Jepang terserap tinggi untuk biaya harian sekolah termasuk makan siang dan semua kebutuhan siswa. Hasil penjelasan guru menunjukan bahwa siswa menjadikan sekolah sebagai rumah kedua, karena semua kebutuhannya terpenuhi di sekolah.

Fenomena siswa yang malas dan bullying juga menjadi masalah di jepang, karenanya guru di Jepang semuanya memiliki kesabaran yang tinggi. Hal ini sangat nampak di semua sekolah, yakni bagaimana guru menangani siswa yang nakal, malas atau siswa yang mengalami gangguan. Hasil diskusi dengan pihak dinas pendidikan juga menunjukan bahwa siswa yang tidak masuk sekolah sangat banyak, tetapi dengan pelaksanan sistem LSLC selama beberpa tahun telah mengalami perubahan dibeberapa sekolah.
Prinsip dasarnya ialah tidak boleh ada siswa yang dikucilkan dalam belajar, juga tidak boleh ada siswa yang sendirian, semua siswa harus mendapatkan hal belajar (bukan hanya hak sekolah). Sehingga semua siswa terperhatikan, dengan sistem LSLC siswa diarahkan untuk berkolaborasi dengan siswa kelompoknya. Begitu juga dengan guru, dimana kepala sekolah memastikan bahwa tidak ada guru yang terkucilkan, menyendiri atau tertinggal dalam update perkembangan pendidikan.
Salah satu sekolah di desa terpencil yang menerapkan LSLC ialah SD Hentona di desa Kunigami, Okinawa. Sekolah ini sukses menaikan tingkat standar pengetahuan siswa secara nasional setelah beberapa tahun menerapkan LSLC. Beberapa sekolah lain yang dijadikan contoh ialah SMP Agarie, SD Hamanogo, SMP Daisan Ushiku, dan SMA Numazu Johoku. Peserta juga mempelajari tentang budaya okinawa melalui program pengenalan budaya.
Untuk tahun 2018, program STOLS juga akan dilaksanakan oleh JICA yang bekerja sama dengan RISTEKDIKTI. Untuk itu, bagi dosen yang berminat dapat mempersiapkan berkas untuk mencoba keberuntungan pelatihan sambil jalan-jalan mengelilingi Negeri sakura. Nantinya stelah mengikuti program STOLS ini, para alumni diharapkan dapat menjadi pendamping dan mengimplementasikan sistem LSLC di wilayah masing-masing. Hal ini tentu membutuhkan dukungan dari Universitas Khairun, instansi dinas pendidikan setempat, dan sekolah-sekolah mitra sebagai pilot project.